PERNYATAAN Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengenai perluasan basis militernya di Asia Pasifik, patut dicermati.
Di hadapan Parlemen Australia, militer AS ingin memperluas peranannya di Asia Pasifik. Kebijakan militer ini digulirkan setelah AS menyatakan prioritas fokus militernya dari Irak dan Afganistan ke Asia Tenggara.
Realisasinya, mereka akan menempatkan marinir AS ke Australia Utara mulai 2012. Perdana Menteri Australia Julia Gillard pun telah menyepakati kekuatan regional dengan penempatan sebanyak 2.500 marinir AS di Darwin, Australia.
Obama menilai, perlu membuat basis di wilayah Asia, karena Asia dinilai sebagai pemain utama dunia di masa depan, khususnya Republik Rakyat China (RRC).
”Asia akan menentukan apakah masa depan dunia akan diwarnai konflik atau kerja sama, penderitaan atau perkembangan,” ujar Obama di hadapan parlemen Negeri Kanguru pertengahan November lalu.
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali. Sekira 60an tahun lalu Amerika juga pernah menempatkan militernya di Filipina. Kedua negara sepakat untuk meneken Perjanjian Pangkalan Militer yang berlaku sekira hampir satu abad.
Penempatan pangkalan ini dilakukan saat Perang Korea pada awal 1950, yang melibatkan Negeri Paman Sam. Namun pada pelaksanaanya, kerja sama itu tidak berjalan lancar lantaran Gunung Pinatubo meletus. Di mana Pangkalan Militer AS di Filipina, terkena imbas muntahan Gunung Pinatubo. Akibatnya tidak bisa berjalan dengan maksimal.
Mengapa China?
Secara eksplisit, Obama menyatakan akan membangun pusaran kekuatan militer baru di Australia demi menyeimbangkan kekuatan militer China yang semakin menguat. China juga sebagai negara di Asia sebagai kekuatan ekonomi terbesar, sejajar dengan India dan Jepang.
Mencermati pernyataan Obama ini, menarik untuk flashback pada tiga tahun lalu.
Semenjak Amerika Serikat kehilangan taringnya, akibat krisis ekonomi, secara pesat China tumbuh sebagai titik kekuatan ekonomi dunia yang baru.
Bahkan China memantapkan dirinya sebagai Macan Asia, setelah ekonomi Amerika, di jurang kebangkrutan setelah adanya krisis ekonomi pada Agustus 2007. Krisis kronik itu menular ke Eropa dan Jepang, hingga saat ini.
Kala itu, hubungan ekonomi China dan Amerika sudah panas. Ekspor AS terpukul lantaran produksi China menyerang dunia dengan harga yang sangat kompetitif. Ini mengakibatkan neraca perdagangan AS menjadi defisit. Jika defisit, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam terancam melandai.
Sejumlah hasil penelitian pun menunjukkan bahwa produk seperti mainan, alat kesahatan dan produk kosmetik "made in China" mengandung bahan berbahaya. Ini digadang-gadang sebagai manuver politik ekonomi AS yang ingin melumpuhkan China. Negeri Panda itu pun me-recall besar-besaran produk yang sudah beredar di kalangan luas.
Belum selesai me-recall, China lagi-lagi disudutkan oleh kebijakan moneternya yang memproteksi yuan di harga rendah. Kebijakan ini lagi-lagi dikritik Amerika. Menteri Keuangan Amerika saat itu, Timothy Geithner, pun terang-terangan melontarkan kritik kepada China.
Obama kala itu sempat mengutarakan kekhawatirannya, sesaat setelah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Selasa 9 November 2010 silam. "(Rendahnya) mata uang (yuan) memang melemahkan posisi kami," pengakuan Obama.
Kemudian, pecahlah perang mata uang yang "memusuhi" China. Yuan menjadi ancaman mata uang dunia, lantaran sengaja dipatok rendah demi melindungi ekspor China. Sejumlah mata uang pada Oktober 2010 pun melemah, termasuk dolar Amerika Serikat yang tampil tersungkur. Perang mata uang ini makin meruncing sehingga sampai membuat 187 menteri keuangan, petinggi Bank Dunia, dan IMF duduk bersama. Persoalan ini pun menjadi isu utama dalam pertemuan G20 di Korea Selatan pada Oktober 2010.
AS dan China bak Anjing dan Kucing
Mengutip pernyataan Miliuner George Soros saat wawancara khusus dengan radio BBC, bila sistem mata uang global "timpang" dan "dikendalikan" oleh China, sehingga mendesak raksasa Asia itu membiarkan mata uangnya dihargai.
"Salah satu ketidakseimbangan dasar menjadi akar dari krisis keuangan dan yang perlu dikoreksi adalah surplus (perdagangan) kronis di China dan defisit besar di Amerika Serikat," demikian ucap Soros, pada 10 Oktober 2010 silam.
Kembali kepada sikap Amerika yang akan membangun pangkalan militer dan China, rupanya Obama telah mengendus kekuatan poros baru di Asia ini dengan baik.
Amerika telah mengamankan diri demi keberlangsungan negaranya dalam jangka panjang. Ini dapat dimaklumi, karena sekarang Amerika tengah dililit berbagai persoalan baik politik maupun ekonomi, yang tengah di ujung tanduk kebangkrutan.
Secara ekonomi China terbukti mampu memukul telak Amerika. Secara militer, China terus memperkuat kemampuannya menghadapi tantangan dunia.
Mungkin inilah yang diantisipasi Amerika. Ketika kekuatan militer Asia bangkit, seiring dengan kekuatan ekonominya, ia tidak mau kebobolan untuk kedua kalinya.
Kini, kita tinggal menyaksikan bagaimana si Paman Sam bermanuver untuk "menerkam" si Macan Asia. Dan semoga tidak menuai pelik di wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara.
Di hadapan Parlemen Australia, militer AS ingin memperluas peranannya di Asia Pasifik. Kebijakan militer ini digulirkan setelah AS menyatakan prioritas fokus militernya dari Irak dan Afganistan ke Asia Tenggara.
Realisasinya, mereka akan menempatkan marinir AS ke Australia Utara mulai 2012. Perdana Menteri Australia Julia Gillard pun telah menyepakati kekuatan regional dengan penempatan sebanyak 2.500 marinir AS di Darwin, Australia.
Obama menilai, perlu membuat basis di wilayah Asia, karena Asia dinilai sebagai pemain utama dunia di masa depan, khususnya Republik Rakyat China (RRC).
”Asia akan menentukan apakah masa depan dunia akan diwarnai konflik atau kerja sama, penderitaan atau perkembangan,” ujar Obama di hadapan parlemen Negeri Kanguru pertengahan November lalu.
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama kali. Sekira 60an tahun lalu Amerika juga pernah menempatkan militernya di Filipina. Kedua negara sepakat untuk meneken Perjanjian Pangkalan Militer yang berlaku sekira hampir satu abad.
Penempatan pangkalan ini dilakukan saat Perang Korea pada awal 1950, yang melibatkan Negeri Paman Sam. Namun pada pelaksanaanya, kerja sama itu tidak berjalan lancar lantaran Gunung Pinatubo meletus. Di mana Pangkalan Militer AS di Filipina, terkena imbas muntahan Gunung Pinatubo. Akibatnya tidak bisa berjalan dengan maksimal.
Mengapa China?
Secara eksplisit, Obama menyatakan akan membangun pusaran kekuatan militer baru di Australia demi menyeimbangkan kekuatan militer China yang semakin menguat. China juga sebagai negara di Asia sebagai kekuatan ekonomi terbesar, sejajar dengan India dan Jepang.
Mencermati pernyataan Obama ini, menarik untuk flashback pada tiga tahun lalu.
Semenjak Amerika Serikat kehilangan taringnya, akibat krisis ekonomi, secara pesat China tumbuh sebagai titik kekuatan ekonomi dunia yang baru.
Bahkan China memantapkan dirinya sebagai Macan Asia, setelah ekonomi Amerika, di jurang kebangkrutan setelah adanya krisis ekonomi pada Agustus 2007. Krisis kronik itu menular ke Eropa dan Jepang, hingga saat ini.
Kala itu, hubungan ekonomi China dan Amerika sudah panas. Ekspor AS terpukul lantaran produksi China menyerang dunia dengan harga yang sangat kompetitif. Ini mengakibatkan neraca perdagangan AS menjadi defisit. Jika defisit, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam terancam melandai.
Sejumlah hasil penelitian pun menunjukkan bahwa produk seperti mainan, alat kesahatan dan produk kosmetik "made in China" mengandung bahan berbahaya. Ini digadang-gadang sebagai manuver politik ekonomi AS yang ingin melumpuhkan China. Negeri Panda itu pun me-recall besar-besaran produk yang sudah beredar di kalangan luas.
Belum selesai me-recall, China lagi-lagi disudutkan oleh kebijakan moneternya yang memproteksi yuan di harga rendah. Kebijakan ini lagi-lagi dikritik Amerika. Menteri Keuangan Amerika saat itu, Timothy Geithner, pun terang-terangan melontarkan kritik kepada China.
Obama kala itu sempat mengutarakan kekhawatirannya, sesaat setelah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Selasa 9 November 2010 silam. "(Rendahnya) mata uang (yuan) memang melemahkan posisi kami," pengakuan Obama.
Kemudian, pecahlah perang mata uang yang "memusuhi" China. Yuan menjadi ancaman mata uang dunia, lantaran sengaja dipatok rendah demi melindungi ekspor China. Sejumlah mata uang pada Oktober 2010 pun melemah, termasuk dolar Amerika Serikat yang tampil tersungkur. Perang mata uang ini makin meruncing sehingga sampai membuat 187 menteri keuangan, petinggi Bank Dunia, dan IMF duduk bersama. Persoalan ini pun menjadi isu utama dalam pertemuan G20 di Korea Selatan pada Oktober 2010.
AS dan China bak Anjing dan Kucing
Mengutip pernyataan Miliuner George Soros saat wawancara khusus dengan radio BBC, bila sistem mata uang global "timpang" dan "dikendalikan" oleh China, sehingga mendesak raksasa Asia itu membiarkan mata uangnya dihargai.
"Salah satu ketidakseimbangan dasar menjadi akar dari krisis keuangan dan yang perlu dikoreksi adalah surplus (perdagangan) kronis di China dan defisit besar di Amerika Serikat," demikian ucap Soros, pada 10 Oktober 2010 silam.
Kembali kepada sikap Amerika yang akan membangun pangkalan militer dan China, rupanya Obama telah mengendus kekuatan poros baru di Asia ini dengan baik.
Amerika telah mengamankan diri demi keberlangsungan negaranya dalam jangka panjang. Ini dapat dimaklumi, karena sekarang Amerika tengah dililit berbagai persoalan baik politik maupun ekonomi, yang tengah di ujung tanduk kebangkrutan.
Secara ekonomi China terbukti mampu memukul telak Amerika. Secara militer, China terus memperkuat kemampuannya menghadapi tantangan dunia.
Mungkin inilah yang diantisipasi Amerika. Ketika kekuatan militer Asia bangkit, seiring dengan kekuatan ekonominya, ia tidak mau kebobolan untuk kedua kalinya.
Kini, kita tinggal menyaksikan bagaimana si Paman Sam bermanuver untuk "menerkam" si Macan Asia. Dan semoga tidak menuai pelik di wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara.
0 comments:
Posting Komentar